Ayam
jantan telah berkokok dengan begitu lantang. Suara khas yang berasal dari dapur
itu menandakan kegiatan di rumahku sudah dimulai. Mesin motor yang sedang
dipanasi pertanda bahwa ayah akan segera berangkat untuk mengais rezeki.
Tangisan bayi kecil yang awalnya hanya remang-remang, kini mulai terdengar
begitu keras. Keponakanku memang sedang melakukan rutinitas olahraga paginya
dengan cara menagis sekencang-kencangnya. Namun, dari semua suara-suara
tersebut, tak ada yang mendorongku untuk segera bangkit. Justru aku semakin
nyaman dengan balutan selimut di seluruh tubuhku. Tubuh ini menolak ketika
fikiran hanya minta untuk bangkit, meskipun itu hanya sekedar untuk duduk.
“Nak, ayo
bangun. Segera sholat, lalu mengaji!” Teriak Ibu dari luar kamarku.
“Ehmmmm”
Jawabku sambil bergeliat dan memaksa bangun.
“Cepat nak!
Nanti kalau tidak segera bangun, akan terlambat sekolah juga lo” Dengan suara yang sayup-sayup hampir tak
dengar. Menandakan bahwa ibu telah meninggaalkan kamarku secara perlahan.
“Iya, Bu”
Jawabku sambil beranjak dari istana kasurku.
Setelah menunaikan kewajiban beribadah, ibu menyuruhku untuk
menjalankan rutinitas ba’da subuhku. Yakni menghafal surah” pendek. Perintah
tersebut merupakan sejenis tiket sebelum aku memulai kegiatan pagiku. Baik itu
memepersiapkan kuliah atau bahkan hanya berdiam dirumah. Namun kesalan
terbesarku waktu itu, aku tak mau untuk menghafal. Menurutku menghafal
surat-surat pendek ketika itu adalah hal yang sia-sia, tak ada gunanya. Ia akan
sekedar di hafal, lalu hilang tanpa bekas. Lalu, untuk apa kawan-kawan
menghafal dengan cucuran keringat dan
penuh perjuangan itu?
Setelah shalat, aku beranjak ke kamarku. Dan ketika itu, aku berpapasan dengan
ibu
“Ayo, segera
setoran ke ibu..” kata ibu memperingatkan.
“Iya, Bu,
setelah ini saya hafalkan.” Jawabku malas.
Aku pun tak tau faktor apa yang membuakut
memiliki rasa sangat keberatan dalam menghafal. Padahal ibu hanya menyuruhku
untuk menghafal minimal 1 ayat setiap paginya, dan setengah halaman ketika
weekend. Namun entah mengapa sepertinya itu merupakan sesuatu yang sangat malas
aku kerjakan.
Disinilah aku memulai kelicikanku,
kelicikan yang tak pernah kulupa sampai kapanpun. Aku menghafal di dalam kamar,
setelah itu, aku menyetorkannya kepada ibu. Sedang ibu menyimakku sambil
memasak.
Kelalaian ibu itupun aku manfaatkan. Aku tak pernah menghafal
ayat-ayat itu. Namun,aku menulisnya di
secarik kertas. Ketika di dalam kamar, aku hanya bermain hp dan jika aku
sudah mulai bosan, aku menulis ayat tadi di secarik kertas. Setelah itu aku
keluar dan bilang pada ibu bahwa aku telah selesai menghafalkannya. Ibupun menyuruhku untuk melafalkannya.
Ketika ibu masih sibuk dengan pekerjaan dapun itu lah, aku mulai membaca ayat
yang ku tulis dalam secarik kertas tadi.
Seperti itulah yang
terus menerus kulakukan hingga akhir kelas 6 SD, dan ibupun masih belum tahu
kalau aku tak pernah menghafal selama ini.
Hingga
akhirnya orang tuaku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di pondok
pesantren. Setelah masuk pondok pesantren, ada suatu moment yang membuatku
begitu bertekad untuk menjadi seorang hifdzul quran.
Akupun memberanikan
diri untuk matur kepada Bu Nyai bahwa aku ingin bersungguh-sungguh menghafal
kalamnya.
“Maaf, Buk. Saya ingin ikut menghafal al Quran.”, kataku dengan
nada yang sesopan mungkin.
“Ooo, Iya, Mbak Nilna. Alhamdulillah jika memang benar-banar ingin
ikut menghafal. Ibu ikut senang mendengarnya.” Uangkap Bu Nyai dengan raut
bahagia.
“Lalu, persyaratan apa yang harus saya jalani dahulu, Bu? Apa saya
harus memulai dengan surah apa atau mungkin saya harus memperbaiki bacaan sayua
terlebih dahulu?” Tanyaku.
“Tidak usah, Mba Nilna. Saya sering mendengar kamu mengaji.
Sepertinya bacaan kamu juga sudah cukup baik. Lalu, untuk masalah surah yang
harus kamu hafal dahulu, saran ibu di mulai dari surah-surah pendek dahulu.
Karena surah itu kan kamu juga sering mendengarkannya dari bacaan-bacaan
shalat. Selain itu, nantinya surah-surah itu juga bisa kamu jadikan surah-surah
ketika shalat.” Terangnya.
“Iya, Bu. Terima kasih.” Jawabku sambil pamit undur diri.
Ketika awal proses
menghafal kalamnya, terasa begitu semangat. Begitu bergairah. Bahkan sampai
lupa waktu. Namun, ku tetap mengalami kendala disitu. Sebagian besar dari
teman-temanku telah hafal juz 30 dari rumah. Sehingga ketika di pondok, mereka
tinggal memurojaah saja dan langsung menuju ke juz 1. Begitu mulusnya
perjalanan mereka. Tidak perlu usaha yang terlalu sungguh, tinggal murojaah
sedikit saja, kalam-kalam itu begitu lancar dilafalkan.
Sementara aku, aku harus berusaha dengan mati-matian untuk mencapai
kelancaran yang ku inginkan. Bahkan, tidak jarang ketika aku sudah berusaha
semaksimal mungkin, hasilnya tak sepadan dengan apa yang telah kubayangkan dari
awal.
Akupun kembali merenung tentang yang telah diperintahkan ibu sejak
dulu. Perintah ibu kepadaku untuk menghafal ayat-ayatNya memang tidak sia-sia.
Selalu ada manfaat dibalik semua itu. Namun, justru aku yang melalaikan
perintah itu, sehingga baru sekarang aku merasakan kepedihnya.
Kejadian ini
mengajarkanku bahwa tugas, atau perintah apapun yang dibebankan orang tua
kepada anaknya, pasti memiliki tujuan yang baik. selain itu, manfaatnya juga
akan kembali kepada anak itu sendiri. Meskipun, ketika itu sang anak belum bisa
merasakan manfaat apa yang ia dapatkan. Namun, dikemudian hari hal tersebut
akan sangat bermanfaat bagi si anak.
Pesan :
Semua perintah dari orang tua pasti mempunyai tujuan yang terbaik
untuk anaknya, meskipun kita tak tahu apa manfaatnya di hari ini, namun pasti
ada manfaatnya di lain hari atau bahkan untuk masa depan kita.Oleh karena itu,
jangan pernah menyepelekan apa yang telah diperintahkan orang tua selama itu
sesuatu yang positif.
Bagimu indah,,
Namun ku harus tabah..
Bagimu anugrah,,
Namun slalu ku ucap innalillah..
Bagaimana bisa kau nilai itu sebuah penghormatan.
Saat semua perlakuanmu justru menggoreskan luka yang teramat
dalam.
Ambisimu, membunuhku.
Ya, membunuh setiap imajinasi hebat dalam benak.
Meruntuhkan sebuah istana megah yang telah ku ukir dalam
sajak.
Luka ini, teleh mengakar dalam kalbu.
Tak menyisakan sedikitpun ruang tuk merindu..
Ah.. jangankan merindu,,
Mengingatmu saja rasanya sebuah neraka bagiku..
Dalam kegelapan kala itu, ku jumpai siluet dirinya yang mulai menghampiriku. Saat aku tersesat, jatuh dan tersungkur. Tak tahu di mana ku dapat temukan cahaya. Yang ada justru hitam, kelam, suram yang datang bertubi”. Ku terjebak dalam kondisi yang amat kelam. Seakan dunia telah mengutuk seluruh scenario hidupku.
Menurutku, alam tak henti” nya memohon kepada Tuhan untuk menyetting alur hidupku sedemikian rupa. Membuatku terpuruk, lalu jatuh cinta. Ah, memang alam begitu pandai membuatku terkesima.
Maha kuasa Tuhan atas segala takdirnya, Dia mengirimkanku pelita yang amat berharga. Aku terpana oleh segala perhatiannya. Merasa dihargai oleh semua perkataannya. Setiap geraknya bagaikan sumbangan nafasnya untukku. Terimakasih pada maha cinta, yang telah menumbuhkan rasa. Melabuhkan pada bahagia. Lalu, membuat jatuh pada cinta.
Iya, jatuh cinta. Aku memang sedang jatuh cinta. Jatuh yang membuatku sempat terluka. Dan cinta yang menjadikanku begitu bahagia. Semua terasa begitu berharga. Seakan ku ingin slalu memuji tuhan atas segala nikmat rasa, suka, dan cinta.
Namun, sepertinya tuhan sedang menunjukkan kuasanya. Begitu mudah bagiNya untuk membolak balik hati ini. Bermula dari biasa saja, menjadi teman tertawa, lalu saling berbagi cerita, tempat mencurahkan duka, berlanjut tumbuh sebuah rasa, dikuatkan oleh cinta, dan kini justru berakhir lara.
Entah dari mana luka itu tumbuh. Aku pun belum menemukan jawabannya. Jadi, jika kau tanya “mengapa?”. Akupun akan menjawab “tak apa”. Kau tanya lagi “kamu kenapa?” jawabanku tetap pada arah yang sama “aku baik-baik saja”. Aku memang tak tau alasan apa yang harus ku berikan padamu, karena dirikupun tak pernah menjumpai jawaban atas semua kegundahanmu, semua murni dari Tuhanku. Namun, yang ku tau hanyalah satu “khawatirku kau kan menghilang dari sejarah hidupku”. Semoga saja itu hanya sebuah tamanni yang tak pernah tertulis di lauhul mahfudzNya. Aku masih ingin membersaimu dalam segala lika lakumu. Namun hanya sebagai penyongsong asa, bukan lagi pendamping cinta.
Tenang saja, tidak usah berfikir yang bukan-bukan. Aku pasti akan menyeterilkan semuanya. Mengubah segalanya seperti sedia kala. Meskipun aku tahu, itu tak akan sempurna. Namun, aku akan mengusahakannya dengan cara yang begitu sempurna.
Tapi tenang saja, anggap saja semua berjalan sebagaimana sebelumnya. Jangan pernah anggap rasaku. Anggap saja aku masih diriku yang dulu. Masih suka akan hal-hal lucu. Dan slalu berusaha untuk membahagiakan diriku.
Terima kasih teruntukmu. Pelita yang telah berhasil mengukir lara.