Feminisme adalah gerakan emansipasi perempuan yang mulai
dikenal sekitar abad ke-18. Berbeda dengan banyak "isme" lainnya,
feminisme bukanlah suatu konsep dan teori yang tunggal. Meskipun demikian,
tetap ada pemaknaan yang dapat disepakati bersama mengenai apa itu feminisme.
Setiap gerakan feminisme selalu mengandung dalam dirinya suatu "kesadaran
feminis" yaitu kesadaran akan adanya perlakuan tidak adil terhadap
perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik, serta suatu tindakan
sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kondisi timpang tersebut.
Berdasar perspektif kesadaran feminis tersebut, nabi
Muhammad dapat digolongkan sebagai feminis. Beliau adalah pemimpin revolusioner
yang mengangkat derajat perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat
tinggi dengan melawan mainstream kultur pada masanya. Dan perubahan radikal
terhadap posisi perempuan dilakukan melalui tiga isu yakni isu mahar, waris dan
poligami. Sebelum Islam, perempuan adalah objek yang tidak punya hak untuk
bersuara, berkarya dan berharta. Tradisi mahar yang diperkenalkan Islam pada
substansinya untuk mengingatkan masyarakat ketika itu bahwa perempuan adalah
makhluk berharga. Mahar menempatkan perempuan sebagai subjek, sebagai manusia
yang memiliki hak properti. Mahar menjadi milik kaum perempuan yang dinikahi,
milik itu tidak boleh dirampas oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
Kesadaran baru dalam relasi gender di Indonesia.
Salah satu isu penting dalam gerakan feminisme di seluruh
dunia, termasuk Indonesia adalah isu gender. Perubahan perubahan mendasar yang
terjadi dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia membawa pengaruh yang
tidak kecil terhadap pola relasi gender, terutama kaitannya dengan posisi
perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta perannya dalam pembangunan di
semua bidang kehidupan. Di tingkat dunia, komitmen untuk mengubah relasi gender
ke arah yang lebih adil dan setara terlihat sejak perserikatan bangsa-bangsa
(PBB) mengambil langkah-langkah utama dengan menegaskan persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan dalam piagamnya tahun 1945 dan selanjutnya pada 1946
membentuk Commision on the Status of Woman atau CSW (Komisi Kedudukan
Perempuan).
Masih di tingkat internasional, perhatian dunia terhadap
upaya kesetaraan gender semakin terlihat dengan dicanangkannya tahun 1975
sebagai Tahun Perempuan ainternasional oleh PBB, dan tahun 1976 sampai 1985
sebagai dasawarsa PBB untuk perempuan. Selama periode ini upaya-upaya
pengumpulan dan analisis berbagai data tentang situasi perempuan menjadi
prioritas utama bagi PBB dan seluruh badan badan khususnya. Sungguhpun demikian
analisis data dan indikator yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa walaupun telah dicapai sejumlah keberhasilan selama seperempat abad
akhir, mayoritas perempuan masih tetap tertinggal jauh di belakang laki-laki
dalam seluruh aspek kehidupan, terutama di negara-negara berkembang seperti
Indonesia.
Khusus bagi LSM dan kelompok feminis berbasiskan Islam,
isu-isu ketimpangan an gender mengambil bentuk : Isu kepemimpinan perempuan,
mayoritas umat Islam menolak perempuan menjadi pemimpin, baik di ranah domestik
terlebih lagi di ranah publik.
Demikianlah sekelumit gambaran ketimpangan gender di
Indonesia, dan anehnya tidak semua kalangan mampu melihat kondisi tersebut
sebagai masalah sosial yang krusial. Disinilah pentingnya analisis gender.
Suatu alat analisis yang dapat membantu seseorang mengenali dan
mengidentifikasi masalah-masalah sosial di sekitarnya yang disebabkan karena
relasi gender yang timpang.
Bagaimana memahami hukum Islam?
Islam sebagai agama pada hakikatnya nya terlihat pada aspek
nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk
elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap
kesetaraan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah setara dan berasal dari
sumber yang satu, yaitu Tuhan. Di hadapan Tuhan, yang membedakan diantara
manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya. Bicara soal, taqwa hanya Tuhan
semesta memiliki hak prerogatif untuk melakukan penilaian bukan manusia.
Umat Islam hampir sepakat mengenai pentingnya ijtihad, yakni
penggunaan akal pikiran dalam memahami hukum-hukum Tuhan. Ijtihad merupakan
suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih
hidup. Sebab menurut Wahab Khalaf, pakar hukum Islam ternama meskipun Alquran
mengandung ketentuan hukum yang cukup rinci namun jumlahnya amat sedikit
dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan manusia yang memerlukan
ketentuan hukum.
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa semakin ketat memegangi
makna literalis teks dipandang sebagai semakin dekat dengan Islam, sebaliknya
semakin jauh seseorang meninggalkan makna tekstual tersebut dipandang semakin
jauh dari Islam. Memahami posisi perempuan dalam Islam harus tetap mengacu
kepada sumber-sumber Islam yang utama yakni Alquran dan Sunnah. Sedangkan
pemaknaan non-literal terhadap teks-teks suci agama dan Alquran dan Sunnah
mengacu kepada tujuan tujuan hakiki syariat atau yang lazim disebut dengan Maqashid
Al Syariah. Berangkat dari teori maqashid al-syariah ini, Ibnu muqaffa
mengklasifikasikan ayat-ayat Alquran ke dalam dua kategori yakni ayat
ushuliyyah ini dan ayat furu'iyah.
Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari
Alquran dan Sunnah, karena itu tentu saja sifatnya tidak absolut dan tidak
pasti. Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa
pandangan itu tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan di dalam dirinya.
Suatu hasil ijtihad biasanya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosio-kultural dan Sosio-historis masyarakat disekitarnya atau pada masa
kehidupan ulama tersebut.
Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku
abadi untuk semua manusia sepanjang masa.
Dinamika hukum Islam dan gerakan feminisme dalam
organisasi Nahdlatul ulama.
Gambaran mengenai gerakan feminisme di Indonesia, terutama
di kalangan Islam belumlah lengkap tanpa Bagaimana isu isu feminisme
diperbincangkan di lingkungan organisasi NU. Danu selama ini dikenal sebagai
suatu gerakan islam tradisional, khususnya dalam pandangan dan pemahamannya
mengenai pemikiran Islam.
Para pengamat umumnya melihat sosok Gus Dur sebagai tokoh
yang merintis pemikiran liberal di NU. Ia diakui banyak memberikan perlindungan
pada generasi muda NU yang haus akan pemikiran baru.
Sebetulnya, Gus Dur sendiri memprediksikan bahwa dalam dekade terakhir ini telah terjadi proses identifikasi diri yang luar biasa di tubuh NU. Di dalam tubuh NU muncul gagasan reformasi dan transformasi yang apresiatif terhadap upaya upaya membangun masyarakat Indonesia muncul gagasan yang apresiatif terhadap demokrasi, hak asasi, pluralisme, dan unsur-unsur masyarakat sipil modern lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas NU ternyata merupakan suatu komunitas dengan vitalitas yang cukup untuk menyerap dan berhubungan dengan perubahan sosial dalam bentuknya yang rasional tanpa harus kehilangan pesan pesan moralnya.
Menarik dicatat bahwa Munas NU tersebut secara intens membahas masalah demokrasi dan hak asasi manusia, 2 isu itu sedang menjadi tema pokok dalam setiap diskursus ilmiah, baik dalam formal nasional maupun internasional. Kedua isu itu ama terkait dengan pembicaraan soal kesetaraan gender yang menjadi isu global saat ini. Terlepas dari kontroversi penilaian orang luar terhadap maklumat tadi yang penting digarisbawahi bahwa diakhir maklumat tersebut terbaca komitmen NU yang begitu kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan. Di sana tertulis bahwa NU bertekad memprakarsai transformasi kultur kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadikan perempuan sebagai dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Salah satu faktor menonjol yang menghambat kemajuan
perempuan NU adalah karena mayoritas mereka tidak mengetahui hak-haknya yang
dijamin oleh agama. Salah satu penyebabnya adalah karena pada umumnya
kitab-kitab fiqih yang dipakai di kalangan Pesantren NU, hampir semuanya buah
karya laki-laki dan kemudian diajarkan oleh laki-laki sehingga mudah dimengerti
jika prasangka dan kepentingan kaum laki-laki sangat mewarnai pembahasannya.
Tidak heran kalau ajaran yang sosialisasi di masyarakat sarat dengan muatan
nilai-nilai yang bias laki-laki.
Kalangan perempuan NU mestinya berani tampil dan mengambil
peran dalam upaya rekonstruksi fiqih tersebut, sebab kitab fiqih rupanya tidak
selalu monopoli kaum laki-laki. Martin Van bruinessen menuturkan bahwa di
antara kitab fiqih yang banyak dibaca di Indonesia terdapat tulisan perempuan.
Kitab dimaksud adalah kitab perukunan Jamaludin buah karya seorang perempuan
bernama Fatimah, salah seorang cucu syekh Arsyad Al banjari. Identitas
pengarang yang sebenarnya sengaja disembunyikan sesuai dengan anggapan yang
sudah mapan bahwa mengarang kitab merupakan pekerjaan laki-laki. Tidak mustahil
kalau digali secara luas akan diketemukan kitab kitab fiqih lainnya hasil karya
perempuan. Fakta tersebut sudah seharusnya menggugah kesadaran kritis perempuan
NU untuk melakukan refleksi terus-menerus dalam rangka memajukan perempuan.
Sumber
Musdah Mulia, 2013. Hukum Islam dan Dinamika Feminisme
dalam Organisasi Nahdlatul Ulama. Jurnal Al Ahkam Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Walisongo. Vol 23, No 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar