Saat
mendengar nama KH Hasyim Asy’ari, apa yang ada di fikirkan kita? Sebagian besar
masyarakat akan mengenal KH Hasyim Asyari sebagai salah satu pendiri Ormas
Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulma’ (NU). Terkhusus bagi warga
NU, mereka mengenal KH Hasyim Asy’ari juga sebagai Ketua Umum NU pertama kali.
Namun siapa sangka bahwa KH Hasyim Asy’ari merupakan Rais Akbar (yang kini
dikenal dengan sebutan Rais Aam), bukan sebagai Ketua Umum. Lalu siapakah
sebenarnya Ketua Umum Pertama NU?
Biografi Hasan Gipo
Beliau adalah Hasan
Basri. Namun beliau lebih familiar dengan panggilan Hasan Gipo. Kata Gipo
diambil dari keluarga besarnya yang berasal dari Marga Gipo. Nama Marga Gipo
merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin. Saqaf
(pelindung) dan al-dien (agama). Kampung tempat Marga Gipo berada dikenal
sebagai Gang Gipo. Keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam
keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel.
Hasan Gipo dilahirkan
di Kampung Sawahan (yang kini menjadi Jalan Kalimas Udik), tepatnya di Jalan
Ampel Masjid pada tahun 1869. Beliau merupakan keturunan silsilah ke lima dari
Dinasti Gipo. Ayahnya bernama H. Marzuki, kakeknya H. Alwi, buyutnya H. Turmudzi. Selain itu Hasan Gipo
juga masih memiliki hubungan keluarga dengan KH Mas Mansyur (Muhammadiyah),
karena KH Mas Mansyur merupakan keturunan dari Abdul Lathif Gipo yang termasuk
dalam Marga Gipo.
Beliau terlahir dari
keluarga yang cukup mapan. Karena itu beliau juga berhasil memperoleh
pendidikan ala Belanda yang kala itu hanya diperuntukkan masyarakat ekonomi
kelas atas. Namun, Hasan Gipo juga tak meninggalkan pendidikan pesantrennya,
bahkan jiwa-jiwa santri begitu mendarah daging dalam hatinya.
Relasi Hasan Gipo
Hasan Gipo merupakan
aktivis dan pedagang yang tinggal di kawasan elite Surabaya. Kesempatan itu ia
gunakan untuk membangun relasi dengan para aktivis pergerakan yang berada di
Surabaya. Antara lain HOS Cokroaminoto dan Dr. Soetomo. Dari situ mereka
berkenalan dengan Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, dan SK Trimurti yang merupakan
murid HOS Cokroaminoto. Dari sini pula para aktivis mulai merencanakan
kemerdekaan.
Ia kemudian terlibat
aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914) meski tidak tercatat sebagai
pengurus. Ia juga menjadi peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916). Ia
juga aktif terlibat dalam Nahdlatul Tujjar (1918).
Penunjukkan Hasan Gipo
sebagai Ketua Umum NU Pertama
Hasan Gipo merupakan
sosok yang limited edition. Ia menguasai ilmu umum dan dia dikenal satu-satunya
santri KH Wahab Hasbullah yang cakap serta terampil dalam membaca dan menulis
tulisan latin. Selain itu ia juga sangat akrab dengan masyarakat sekitar. Atas
dasar itulah Hasan Gipo ditunjuk sebagai Ketua Umum NU(Tanfidziyah) yang
pertama kali. Penunjukkan tersebut dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah di
kawasan Bubutan Surabaya. Usulan tersebut juga disetujui KH Hasyim Asy’ari.
Pada masa itu, NU masih
berbentuk embrio di mana Rais Syuriah adalah KH Said dari Paneleh, Surabaya, KH
Asy’ari dipilih sebagai Rais Akbar Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dengan
KH Wahab Hasbullah sebagai Katib ‘Am.
Hasan Gipo menjabat
kurang lebih 3 tahun. Setelah itu kepemimpinan Tanfidziyah NU digantikan oleh
KH Noor dari Sawah pulo, Surabaya pada
muktamar ke-3 di Semarang.
Makam Hasan Gipo
Hasan Gipo wafat di
Surabaya pada 1934. Makam Hasan Gipo hampir saja hilang dan tidak dikenali
jejaknya. Karena sebagian besar warga NU katika ditanya mengenai Ketua Umum NU
pertama kali, mereka akan menjawab KH Hasyim Asy’ari, bukan Hasan Gipo. Padahal
dalam tradisi NU, makam merupakan tempat yang amat penting sebab warga
nahdliyyin tak pernah melewatkan ziarah kepada ulama. Makam itu berhasil
ditemukan kembali dan diberi tanda. Ia berada di Kompleks Pemakaman Kanjeng
Sunan Ampel Surabaya, di sebelah timur Masjid Ampel, satu lokasi dengan makam
Pahlawan Nasional tokoh Muhammadiyah KH Mas Mansur.
Hasan Gipo merupakan
dzurriyah Kanjeng Sunan Ampel yang mengorbankan harta, jiwa, raga dan tenaga
untuk umat islam, terkhusus dalam perjuangan NU. Namun, namanya belum banyak
dikenang. Bahkan oleh kalangan warga NU sendiri. Semoga Allah selalu
melimpahkan rahmat kepada beliau. Amiinn..
Penulis:
Nilna Husnayain, Kader IPPNU Ranting Tawangrejo, Mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar