Santri identik dengan pesantren.
Mereka adalah para pelajar yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Di
sanalah, para santri banyak mendapatkan pelajaran keagamaan. Berbagai ilmu
agama diajarkan di dalam pesantren, diantaranya al-Qur’an, hadis, fiqih, nahwu,
dan lain-lain. Namun, pembelajaran tersebutpun hanya dilakukan di dalam area
pesantren saja. Sangat jarang, ada proses pembelajaran keluar pesantren seperti
study tour atau semisalnya.
Tidak berhenti sampai di situ,
suasana pembelajaran di pesantren terlalu pasif. Hal ini disebabkan oleh
minimnya kreativitas dan juga inovasi guru dalam pengembangan metodologi
pembelajaran aktif, sehingga membuat daya kritis santri menjadi lemah. Selain
itu, hubungan guru dan murid yang cenderung feodal yang ada di pesantren,
membuat santri terkungkung dalam kenyamanan pasif. Mereka menjadi tidak
memiliki kritisisme yang cukup untuk mengajukan pendapat atau gagasannya.
Salah satu contoh pembelajaran pasif
adalah pembelajaran dengan metode wetonan (bandongan). Metode ini adalah salah
satu metode pengajian dengan cara guru membaca, menjelaskan. Sesekali santri
mencatat dalam buku catatan mereka tentang hal-hal yang di anggap penting.
Namun, tidak ada kesempatan santri untuk bertanya, berdiskusi ataupun
mengkritisi keterangan yang telah dijelaskan oleh sang guru.
Di sinilah letak kurangnya pelatihan
mental mereka. Mereka tidak dibiasakan untuk cakap dalam mengemukakan
pendapatnya, tidak dibiasakan untuk berbicara di hadapan umum, sehingga yang
mereka ketahui hanya sebatas itu-itu saja. Tanpa tergugah untuk memiliki mental
singa. Bagaimana mental singa itu?
Mental singa adalah sikap seseorang
yang memiliki keberanian lebih untuk membasmi kejahatan ataupun ketidakadilan.
Ia berani untuk menegakkan sesuatu yang memang harus ditegakkan. Ketika ada
suatu keburukan, jiwanya tergugah dan merasa wajib untuk membasminya. Jiwa
tersebut sudah terlatih kebal dengan berbagai ancaman yang merusak. Baginya,
jika itu memang sesuatu yang benar, ia akan dengan tegas menjalankannya.
Sebaliknya, jika itu sesuatu yang salah, ia akan dengan lantang menolak bahkan
berusaha merubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Tanpa adanya mental singa dalam diri
santri, akan sangat mustahil jika para santri mampu mengatahui perkembangan
dunia luar ataupun berbaur dengan pelajar luar. Mereka hanya mendengar
informasi-informasi tentang keunggulan atau prestasi yang telah diraih pelajar
non santri. Padahal tidak menutup
kemungkinan bahwa non santri tersebut juga memiliki beribu kelemahan.
Salah satu penelitian di Belanda
menunjukkan bahwa seseorang yang hanya belajar di tempat yang sama, akan
mengakibatkan kurang berkembangnya potensi berimajinasi sesorang. Selain itu,
akan berdampak pada pola fikir yang cenderung berfikir negatif. Tak hanya itu,
dikalangan masyarakat awam, mengkritik guru adalah perilaku yang sangat tidak
sopan. Itulah penyebab santri tidak berani membetulkan dan meluruskan gurunya..
Hal ini telah terbukti dengan
banyaknya santri yang hanya manut dengan apa yang telah ditakdirkan padanya,
tidak ada keinginan untuk menjadi pelajar yang lebih unggul, tidak ada suatu
bentuk perjuangan, dan keberanian. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa
para santri mengidap penyakit rasa rendah diri dalam pergaulan ketika harus
bersosiasi dengan masyarakat di luar mereka.
Hal itu berdampak ketika mereka
telah keluar dari pesantren. Ketika mereka dituntut untuk berbaur dengan
pelajar dari luar pesantren, mereka
seketika merasa tidak pantas, insecure, dan bahkan merasa kerdil
diantara yang lain.
Padahal, jika santri-santri tersebut
berani untuk menunjukkan keunggulannya, ia akan jauh lebih baik dari yang lain.
Karena sebanarnya banyak sekali pelajaran yang dikaji di dalam pesantren, namun
tidak di ajarkan di luar pesantren. Sehingga ketika seorang santri telah
benar-benar mendalami suatu ilmu, ia akan sangat unggul di dalam ke ilmuan
tersebut. pasti ia juga bisa lebih
unggul dari pelajar luar.
Namun dengan satu syarat, ia harus
memiliki keberanian yang benar-benar matang. Tanpa keberanian, ia akan kembali
menjadi kerdil dan tidak berani melakukan apapun. Selain itu, kritis di lingkup
pesantren merupakan ajang yang paling tepat, karena kehidupan pesantren adalah
miniatur yang sudah sangat serasi dengan kehidupan bermasyarakat ataupun
bernegara.
Salah satu karakter yang harus
dimiliki santri yaitu survive any where, yang memiliki makna bahwa santri harus
bisa hidup secara independen dimana saja, apapun model masyarakatnya, kultur,
budaya, ataupun lingkungannya. Mampu berkiprah dengan mandiri dan
memperjuangkan kebenaran demi kebenaran itu sendiri. Jangan sampai santri
menggantungkan kehidupan dan kiprah pada orang-orang yang berkepentingan.
Santri juga berperan sebagai time
update (perubahan waktu), maksudnya santri harus bisa memahami perkembangan
zaman, di era globalisasi, informasi dalam bentuk apapun dapat diperoleh, agar
menjadi santri yang selalu aktual dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu,
santri juga perlu untuk sesekali menelisik ke dunia luar pesantren, agar mereka
bisa tau bagaimana kondisi dunia saat ini. Dengan begitu, merekapun bisa
mempersiapkan dirinya untuk memebenahi dunianya.
Selain itu, para santri harusnya
menelisik dari segi sejarah. Bahwa perjuangan dalam kemerdekaan Negara Indonesia
tidak lepas dari perjuangan santri dan ulama’. Santri harus mampu menumbuhkan
rasa patriotisme pada tanah air, seperti halnya para ulama’ terdahulu.
Allah berfirman dalam surah at
Taubah ayat 39
اِلَّا
تَـنۡفِرُوۡا يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا اَلِيۡمًا ۙ وَّيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا
غَيۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّوۡهُ شَيۡـًٔــا ؕ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ
قَدِيۡرٌ
Jika kamu tidak berangkat (untuk
berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih dan
menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya
sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Di dalam ayat tersebut, redaksi
berperang bisa diartikan dengan berjuang. Allah telah menjanjikan ancaman
berupa adzab bagi orang yang sudah mampu untuk berjuang, namun tidak mau untuk
melaksanakan perjuangan tersebut. Hal ini sudah sangat singkron untuk santri
yang sudah seharusnya memumpuni dalalam hal perjuangan. Baik berjuang untuk
Negara maupun untuk agama.
Peran Ulama' dan santri dalam
mewjudkan kemerdekaan Indonesia sangatlah besar, bahkan mereka rela
meninggalkan keluarga, menghabiskan seluruh harta, jiwa dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, dan mereka telah memberikan sumbangsi yang sangat besar
dalam memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia yang begitu
panjang dan nama merekapun tercatat dengan tinta emas sebagai Syuhada'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar