Sebuah
perjalanan yang saya sebut sebagai kehidupan kedua yang sebenarnya. Ialah
berada di sebuah geduang asrama di dekat kampus yang kami sebut sebagai Rumah
Perkaderan Monash Institute Semarang (MIS).
Berjuta bentrokan pemikiran, perenungan, penyadaran hingga akhirnya
muncul perubahan dalam hidup telah saya lalui. Bahkan doktrin-doktrin ajaran
dari pondok pesantren dahulu yang begitu mengakar dan terlihat baik, sedikit
demi sedikit sudah mulai saya kritisi. Tak mudah untuk memunculkan pelurusan
semua jalan pikiran ini. Tapi hal tersebut terus berjalan secara signifikan
hingga kini.
Bermula ketika saya telah lulus dari
sebuah Madrasah Aliyah Swasta (MAS) di daerah Kediri, saya berniat untuk
melanjutkan pendidikan saya ke bangku kuliah. Saat itu juga hafalan Al Qurana
saya di Pondok Pesantren yang masih satu yayasan dengan MA tersebut juga telah
selesai. Keinginan saya untuk kuliah memang sudah terbersit sejak berada di
bangku SD kelas 2. Saat saya melihat kakak-kakak saya yang berkulaih dan
terlihat begitu sibuk menikmati dunia di lingkup kampus. Mengikuti berbagai
organisasi dan kegiatan ekstra maupun intra kampus, menjadikan mereka terlihat
begitu gagah dengan almamater yang mereka gunakan. Ketika itu juga saya bercita-cita
untuk menjadi mahasiswa yang seluruh hidupnya disibukkan oleh berbagai
agenda-agenda kemahasiswaan dan kepemudaan yang ada di lingkup kampus.
Kala itu kedua orang tua saya
membebaskan saya untuk melanjutkan kuliah kemana saja saya mau. Namun ada satu
syarat dari ibu saya yang tidak bisa ditawar ataupun diganggu gugat oleh
siapapun. Yakni ketika saya kuliah, harus disertai dengan tinggal di pondok
pesantren denagn basic al Quran juga. Saya kira itu merupakan suatu bentuk
kekhawatiran beliau mengenai keistiqomahan saya dalam menjaga al Quran. Beliau
amat menyadari bahwa menjaga hafalan bukanlah suatu perkara yang mudah. Harus
disertai dengan tuntutan dan juga kesadaran dari diri sendiri. Sedangkan kakak-kakak saya sangat mendukung
dan memang mengharuskan adik perempuannya ini untuk melanjutkan kuliah.
Beberapa jurusan yang mereka anggap cukup dibutuhkan saat itu juga disarankan
kepada saya. Hingga akhirnya saya memilih jurusan yang saya minati dan
disetujui oleh mereka.
Mengenai persyaratan dari ibu saya
tadi dan juga di dukung oleh keinginan pribadi saya untuk mendalami tafsir al
Quran, maka kakak saya mencari pesantren mahasiswa yang sesuai dengan keinginan
ibu. Singkat cerita kakak saya mendapat rekomendasi dari temannya suatu pondok
pesantren mahasiswa dengan basic tafsir al Quran yang ada di daerah Semarang.
Mendengar kata semarang, ibu sempat keberatan mengizinkan saya pergi ke semarang. Karena
saya satu-satunya anak perempuan dan juga kehidupan saya yang tidak pernah
terlepas sejauh itu dari orang tua. Namun berkat kedua kakak saya yang terus
menerus meyakinkan ibu dan kesiapan dari diri saya pribadi untuk kuliah dan
mondok tafsir, ibu saya merelakan saya untuk pergi ke Semarang.
Hari Senin siang saya tiba di Monash
Institute dengan diantar oleh kakak dan juga ibu saya. Saat itu saya langsung
dibawa oleh Panitia Penerimaan Disciple Baru (PDB) ke sebuah gedung yang mereka
namakan sebagai Daar al Qalam 3. Mereka mengatakan bahwa gedung tersebut
merupakan gedung karantina yang dihuni oleh kakak-kakak mahasantri yang baru
saja pulang dari daerahnya masing-masing. Karena kasus Covid-19 yang
sedang marak saat itu membuat para
mahasantri yang kembali dari kampong halaman harus karantina dahulu sebelum
berbaur dengan teman-teman mahasantri yang lain. Oleh karena itu tes camp saya
dan teman-teman juga ditempatkan di gedung tersebut.
Awal mula memasuki gedung tersebut saya
sudah agak terkejut dengan keadaan antara santriwan dengan santriwati yang
sedang karantina diletakkan dalam satu gedung. Saat itu santriwan berada di
lantai satu, sedangkan santriwati berada di lantai 3. Hanya dibatasi oleh satu
lantai saja. Namun, ketika itu saya masih meredam negative thingking saya
dengan berfikir bahwa mereka masih dalam masa karantina. Sehingga untuk
sementara waktu mereka ditempatkan dalam satu gedung.
Tes camp berjalan dengan lancer
selama kurang lebih 2 minggu. Materi yang diajarkan saat itu masih seputar
pelajaran nahwu sorof dan juga hafalan yang keduanya sudah menjadi pelajaran
pokok dalam pesantren saya dahulu. Mungkin hanya materi mengenai jurnalistik
yang terasa asing bagi saya, sehingga saya perlu lebih berkonsentrasi ketika
materi jurnalistik diajarkan.
Baru saat telah sah menjadi
disciples, saya merasakan berbagai pergulatan pemikiran. Terutama saat agenda
kajian bersama Abah Muhammad Nasih (Pendiri Monash Institute). Karena beliau
merupakan hafidz muda sekaligus Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ), maka segala ayat al Quran yang beliau kaji selalu beliau kaitan
dengan politik yang ada disekitar ataupun lingkup Negara Indonesia saat ini.
Awal mendengar kajian al Quran yang dihubungkan dengan politik memang terkesan aneh.
Namun semakin hari saya merenunginya, memeang semua aspek dalam kehidupan kita
tak pernah lepas dari unsur politik. Baik itu yang bersifat positif ataupun
negatif. Disitulah saya sedikit demi
sedikit membuka pradigma saya untuk berfikir jauh lebih luas lagi. Bahwa
politik tidak semata-mata berkaitan dengan korupsi, penyelewengan kekuasaan,
dan hal negative lainnya. Namun sebenarnya politik yang benar ialah politik
yang sesuai dengan tuntutan al Quran dan Sunnah nabi. Dalam banyak kisah yang
saya dengarkan ketika kajian bersama abah, Nabi Muhammad juga telah mengajarkan
perpolitikan dan menjadi pemimpin yang bijak. Hanya tinggal umatnya saja yang
mau meniru beliau atau justru memimpin dengan hanya mementingkan kesejahteraan
dirinya saja.
Pemikiran mengenai degradasi
pemerintah dan solusi untuk mengatasinya inilah yang belum pernah saya dapatkan
sebelumnya. Pengajian di pesantren dahulu hanya sebatas pembahasan mengenai
dunia muslim dan sejarah ualam-ulama terdahulu, tanpa pernah menyinggung
bagaiamana cara kita untuk dapat menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi
bangsa. Padahal itulah sebenarnya tugas yang diamanahkan oleh Allah di dalam al
Quran, yakni sebagai khalifah fii al ardh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar