Welcome to Nilna Husnayain

"Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah"
Follow Me


By  Nilna_husnayain     Juni 13, 2022     
Hasil Diskusi Kelompok 4. Anggota: 1. Nilna Husnayain 2002016042 2. Anisarahma 2002016061 3. Achmad Dairobi 2002016062 4. Akhmad Zidny Fahmi 2002016064 UAS SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Mengenal Lebih Dalam Mengenai Lembaga Peradilan Khusus di Indonesia Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah masuk dalam wilayah akut atau dapat dikatakan sudah pada titik yang sangat nadir. Korupsi dilakukan tidak saja secara bersama-sama, tapi sudah dilakukan secara sistemik oleh para pihak dengan harapan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Adanya korupsi yang sangat luar biasa ini tentu menghambat keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Tindak Pidana Korupsi sebagai perilaku extra ordinary crime yang mengancam cita-cita negara yang memerlukan penanganan hukum secara lebih serius, betapa tidak korupsi sudah dimana-mana melanda masyarakat indonesia dan sudah memasuki semua kalangan,seperti sudah tidak ada rasa takut, malu serta dosa bagi mereka yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi. Untuk memerangi tindak pidana korupsi tersebut sangat diperlukan penegak hukum yang concern untuk memberantasnya. Oleh Karena itu berdasarkan amanah Undang-undang No 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan mampu untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, oleh karena itu perlunya suatu penguatan untuk melaksanakan tugas-tugasnya bukan melemahkan atau mengkriminalisasi kannya peran dan fungsi KPK. Di Indonesia, keberadaan KPK merupakan wujud politik hukum ketata- negaraan guna memberantas “Tindak Pidana Korupsi” yang dianggap sebagai kejahatan sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Tugas dan wewenang KPK menurut UU Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6 dan 7 yaitu; Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pembe-rantasan tindak pidana korupsi. b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pembe-rantasan tindak pidana korupsi. c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahannegara. Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: 1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutantindak pidana korupsi. 2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. 3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindakpidana korupsi kepada instansi yang terkait. 4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansiyang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Amanat undang-undang menjadikan KPK sebagai lembaga super (superbody). Semua proses tindakan hukum dan upaya hukum, sejak tindakan penyidikan, penuntutan dilakukan oleh KPK. Tersangka korupsi diadili di pengadilan khusus tindak pidana korupsi (Peradilan Tipikor), bukan oleh penga-dilan umum. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengambilalih kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani instansi penegak hukum lainnya (penyidik kepolisian dan kejaksaan), jika hingga batas yang ditentukan kasus yang ditangani belum selesai. Meskipun sudah ada KPK, bukan berarti penyidik polisi tidak berhak lagi mengusut kasus korupsi. Pengusutan terhadap tindak pidana korupsi merupakan salah satu tugas polisi dalam rangka penegakan hu-kum. Dalam Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 14 ayat (1) g, disebutkan bahwa polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Korupsi termasuk dalam salah satu tindak pidana sehingga dapat dilakukan tindakan hukum oleh penyidik polisi. Konsekuensi dari lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah pembentukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Tipikor bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Keberadaan pengadilan Tipikor, berimplikasi terdapat dua pengadilan yang berwenangmengadili tindak pidana korupsi yaitu, Pengadilan Negeri (Pidana) dan Pengadilan Tipikor. Perbedaannya, terletak pada instansi yang mengajukan upaya hukum tindak pidana korupsi, yaitu KPK, atau Kejaksaan. Sementara tindak pidana korupsi yang merupakan kewena-ngan kedua pengadilan itu sama, yaitu tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara substansial maupun secara struktural law enforcement di Indonesia, diperlukan pemberdayaan hukum sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan hukum, termasuk pemberdayaan institusi atau lembaga yang memiliki kewenangan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa kompromi. PENANGANAN KORUPSI NEGARA KITA DINILAI BELUM MEMBERIKAN EFEK JERA BAGI KORUPTOR Korupsi masih menjadi bahan persoalan di Indonesia. Korupsi juga yang menghambat pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pemberantas korupsi, peran penegak hukum yang tegas bertanggung jawab,cerdas dan berintegritas sangatlah diperlukan. peran penegak hukum tidak hanya menindak tegas saja, namun juga melakukan pencegahan terjadinya korupsi. Masyarakat geram bila ada pejabat negara melakukan korupsi, mengeruk uang rakyat untuk memperkaya pribadi.Terlebih uang yang dikorupsi adalah anggaran pemerintah untuk meringankan beban rakyat di masa pandemi.Dan tentu saja masyarakat makin kecewa "nyesek" apabila hukuman bagi pelaku korupsi dianggap ringan, tidak sebanding penderitaan rakyat akibat ulah koruptor tersebut.Padahal masyarakat berharap koruptor dihukum seberat-beratnya, dan bila perlu dimiskinkan alias disita harta kekayaan hasil kejahatan korupsi tersebut.Tujuannya adalah, memberi efek jera dan supaya tidak terulang kembali perbuatan korupsi di kemudian hari. Sekaligus mengembalikan uang rakyat yang telah dikorupsi kepada kas negara. Jika hukuman bagi koruptor benar-benar diperberat, dan pelaku korupsi dimiskinkan, harta dirampas, maka logika sederhananya, pejabat akan takut menerima suap, atau sogokan/gratifikasi, setoran naik pangkat, markup, fee proyek, dan serupanya. Tetapi kenyataannya, negeri tercinta ini tak pernah sepi dari kejadian korupsi Dilakukan oleh pejabat di pusat maupun di daerah. Kasus korupsi yang mencuat hanya sebagian kecil saja. Yaitu yang ditindak KPK atau penegak hukum lainnya. Sedangkan kejahatan korupsi yang "tidak ketahuan" atau "belum ditindak" masih banyak lagi. KPK senantiasa terus berbenah untuk menyempurnakan metode penanganan korupsi di Indonesia. KPK, telah banyak melakukan terobosan agar pemberantasan korupsi tidak menimbulkan kegaduhan. KPK Bikin Banyak Terobosan Agar Berantas Korupsi Tak Gaduh. pihaknya telah melakukan berbagai cara untuk menangani korupsi di Tanah Air. Seperti misalnya, pendekatan asset recovery, penerimaan negara bukan pajak serta memitigasi perilaku korupsi. KPK juga turut bersinergi dengan Kejaksaan Agung untuk menerapkan pasal pencucian uang kepada para koruptor sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). KPK juga tengah mengejar aset-aset koruptor yang berada di luar negeri. KPK tengah menjalankan konsep trisula untuk membangun budaya antikorupsi. Trisula pertama yakni pendidikan dalam upaya membangun dan menanamkan nilai, karakter, budaya dan peradaban manusia Indonesia yang antikorupsi. Trisula kedua adalah mengedepankan upaya pencegahan dan monitoring di mana KPK akan fokus bekerja di hulu, melakukan penelaahan dan kajian regulasi yang membuka celah korupsi. Hal ini sesuai amanat UU KPK bahwa lembaga antirasuah masuk ke seluruh instansi demi membentuk regulasi yang antikorupsi. Trisula terakhir yakni penindakan yang tidak sekadar hukuman badan, tetapi juga perampasan aset hasil korupsi demi pemulihan kerugian negara. Firli berharap dengan konsep trisula KPK itu, masyarakat dapat melihat korupsi sebagai jalan sesat. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyoroti soal penindakan hukum terhadap terpidana kasus korupsi sepanjang 2021 yang dinilai masih belum memberikan efek jera dan pengembalian kerugian negara yang minim. Menurut Abdul, yang harus dibenahi adalah soal kepekaan aparat penegak hukum, terutama jaksa penuntut umum dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta hakim, dalam melakukan penuntutan dan menjatuhkan vonis. Abdul mengatakan, karena korupsi digolongkan kejahatan luar biasa, maka seharusnya cara pandang aparat penegak hukum dalam menghadapi perkara itu tidak bisa disamakan dengan kasus pidana umum. "Masalahnya kan sudah jelas, menurunnya kepekaan aparat penegak hukum terutama pada kasus kasus korupsi yang seharusnya ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)," Pada kenyataannya hanya dilihat sebagai perkara biasa, itu artinya kepekaan penegak hukum (jaksa dan hakim) sudah bergeser," sambung Abdul. Selain persoalan kepekaan, Abdul juga mempersoalkan tentang hakikat dari menghukum para pelaku tindak pidana korupsi. Menurut dia, para penegak hukum seharusnya tidak hanya fokus memberikan hukuman penjara kepada koruptor, tetapi juga berupaya untuk membuat pelaku mengganti kerugian negara dengan setimpal."Salah satu tujuan penuntutan perkara korupsi itu adalah pengembalian kerugian negara yang sebesar-besarnya, tetapo kenyataannya justru yang terjadi seolah-olah penghukuman badan itu menjadi tujuan utamanya," ujar Abdul. "Sehingga upaya untuk mengembalikan kerugian negara terabaikan, bahkan cenderung dianggap sepele. Karena itu terlihat jaksa dan pengadilan kurang sungguh-sungguh untuk menyita aset koruptor yang seharusnya dikembalikan kepada negara," lanjut Abdul. Dalam paparan pada akhir pekan lalu, ICW menyoroti tiga titik kelemahan penegak hukum dalam tren putusan kasus korupsi, yakni dari vonis yang ringan, tuntutan jaksa dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai kurang maksimal, sampai pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak sepadan dengan nilai korupsi. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam jumpa pers daring yang diunggah di kanal YouTube, Minggu (22/5/2022), sepanjang 2021 terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta pihak kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri. Akan tetapi, dari ribuan perkara itu, rata-rata tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum dari kedua lembaga itu hanya 4 tahun 5 bulan. Sedangkan untuk kasus korupsi yang dikenakan pasal dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara, rata-rata tuntutannya 55 bulan atau 4 tahun 7 bulan. Sementara, untuk perkara dengan hukuman maksimum 5 tahun penjara, rata-rata tuntutannya hanya 2 tahun 9 bulan. Menurut Kurnia, terdapat peningkatan tren tuntutan dibandingkan 2020. Meski begitu, ICW memandang hal tersebut belum memuaskan lantaran peningkatan trennya yang rendah.Selain itu, latar belakang terpidana korupsi yang merupakan pejabat publik seharusnya membuat jaksa memberikan tuntutan hukuman yang lebih maksimal. Korps Adhyaksa tercatat menjadi lembaga yang paling banyak memberikan tuntutan ringan (0-4 tahun penjara). Total, ada 623 terdakwa yang dituntut ringan. Sementara, yang dituntut sedang (4-10 tahun) ada 587 terdakwa, dan hanya 44 terdakwa yang dituntut berat atau lebih dari 10 tahun. "Kita tahu surat tuntutan tidak berdampak langsung pada terdakwa karena hakim memutus berdasarkan surat dakwaan. Namun, dari tuntutan, kita bisa melihat perspektif menegak hukum, apalagi mereka dianggap sebagai representasi korban yaitu dalam hal ini negara dan masyarakat," ujar Kurnia. Selain itu, kata Kurnia, tren vonis hakim dalam perkara korupsi sepanjang 2021 dinilai belum mencerminkan rasa keadilan. Sebab rata-rata vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa korupsi pada tahun lalu sekitar 3,5 tahun penjara. Yang dituntut dari korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) adalah treatment (penanganan) yang juga luar biasa dan tidak sama dengan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tuntutan penegak hukum dan juga vonis majelis hakim," lanjut Kurnia. ICW juga menyoroti sisi pengembalian kerugian keuangan negara dari kasus korupsi sepanjang 2021 yang dinilai tidak sebanding. Menurut Kurnia, 2021 juga menjadi tahun di mana angka kerugian negara yang tercatat akibat kasus korupsi, terbanyak dalam lima tahun terakhir yakni sebesar Rp 62,9 triliun. Akan tetapi jumlah pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap pelaku rasuah hanya Rp 1,4 triliun atau 2,2 persen. ICW menemukan, rendahnya jumlah uang pengganti ini tak terlepas dari pidana penjara pengganti pada 2021 yang, jika dirata-rata, hanya selama 1 tahun 2 bulan penjara. Hal ini ditengarai membuat para terpidana memilih menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah. "Pemberian efek jera tidak cukup jika hanya mengandalkan pemenjaraan, tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia Ketut Sumedana mengatakan catatan itu merupakan kewenangan ICW untuk memberikan penilaian. "Itukan penilaian mereka kita tidak bisa membatasi," ujar Ketut saat dihubungi Kompascom, Senin (23/5/2022). Menurut dia, jajaran Korps Adhyaksa tetap bekerja secara maksimal untuk memberikan kinerja yang lebih baik. Ia juga mengatakan, catatan ICW itu akan dijadikan bahan instrospeksi jajaran. "Semua kita jadikan bahan introspeksi dan motivasi kedepan untuk kinerja kejaksaan lebih baik," ucap dia. Peradilan ad hoc di Indonesia Pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) dijumpai istilah “pengadilan HAM ad hoc”, sebagai berikut: Undang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Pengadilan Umum. Jonaedi Efendi, dkk dalam buku Kamus Istilah Hukum Populer (hal. 26) mendefinisikan ad hoc sebagai: Untuk tujuan ini; untuk itu (yaitu untuk suatu tugas atau urusan tertentu saja, khusus. Masih dari sumber yang sama, disebutkan beberapa contoh penggunaan istilah ‘ad hoc’, yaitu panitia ad hoc dan hakim ad hoc (hal. 26). Selain itu, ad hoc juga dapat diartikan sebagai “tidak permanen”, sebagaimana diterangkan Jimly Asshiddiqie dalam artikel Hubungan Antara Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945 (hal. 8): “...ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen.” Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan pengadilan ad hoc adalah suatu pengadilan yang bersifat tidak permanen dan sejak semula dibentuk hanya untuk sementara waktu dan dikhususkan untuk menangani perkara tertentu. PENGERTIAN HAKIM AD HOC Pengertian ad hoc adalah suatu pembentukan untuk tujuan khusus. Jadi dapat dikatakan bahwa hakim ad hoc adalah hakim, berasal dari luar pengadilan yang punya pengalaman dan spesialisasi pengetahuan dalam bidang tertentu, yang direkrut secara khusus untuk tujuan tertentu, dalam menangani perkara tertentu. Pada Pasal 1 butir 9 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 yang baru disebutkan bahwa : “hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”. Keberadaan hakim ad hoc dalam mengadili dan memeriksa kasus korupsi hanya terdapat pada Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Dalam konsideransi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi butir b disebutkan “bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi”. Pemeriksaan baik di tingkat banding maupun kasasi dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri 2 hakim karir dan 3 hakim ad hoc. Maka latar belakang masuknya hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena rendahnya faktor kredibilitas lembaga yang megadili perkara korupsi sebelumnya. Dalam proses pemeriksaaan perkara dalam pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) kedudukan hakim karir dan hakim ad hoc adalah sejajar yaitu sama sama mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas tugasnya sebagai seorang hakim, yang membedakan hakim karir dan hakim ad hoc adalah proses pengangkatanya. Hakim karir pengadilan tindak pidan korupsi (Tipikor) harus berpendidikan sarjana hukum, berpengalaman menjadi hakim minimal 10 tahun daan diangkat serta diberhentikan oleh ketua Mahkamah Agung sedangkan pengangkatan hakim ad hoc adalah berdasarkan keahlian tertentu untuuk mengadili suatu perkara korupsi. Untuk menjadi hakim ad hoc tidak harus berpendidikan sarjana hukum melainkan boleh berpendidikan sarjana lainya dan berpengalaman dibidang hukum selama minimal 15 tahun.

About Nilna_husnayain

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Maecenas euismod diam at commodo sagittis. Nam id molestie velit. Nunc id nisl tristique, dapibus tellus quis, dictum metus. Pellentesque id imperdiet est.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Latest in Tech

logo

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Proin tempus pellentesque consectetur.

Morbi tincidunt commodo dui, eu fringilla dui iaculis ac. Vestibulum viverra iaculis dignissim. Ut condimentum